Kamis, 04 Februari 2016

Mengurai Konflik Agraria bersama Dr. Laurens Bakker Universitas Amsterdam Belanda


Bertempat di Ruang Rapat Dekanat, Selasa 12 Januari 2015 Dekan Fisip Unsoed Dr. Ali Rokhman berkenan menerima kedatangan Indonesianis Dr. Laurens Bakker dari Faculty of Social and Behavioural Sciences, Universitas Amsterdam Belanda. Pengajar Antropolologi ini telah malang melintang hingga pelosok Sumatera dan Kalimantan. Bahkan Disertasi beliau mengkaji konflik agraria, berjudul “Who Owns the Land? Looking for Law and Power in East Kalimantan”. Telah hadir pula para Ketua dan Seketaris Jurusan/Program Studi, beberapa Dosen serta beberapa aktifis LSM, dalam kegiatan diskusi ilmiah ini. 

Dekan Fisip sangat mengapresiasi kedatangan Dr. Laurens serta berharap ada tindak lanjut berupa kerjasama yang lebih konkret. Seperti joint research  bersama para sosiolog dan antropolog Fisip Unsoed. Bahkan diharapkan Dr Laurens turut menginisiasi MoU antara Fisip Unsoed dengan Fisip Universitas Amsterdam Belanda. Dekan juga mengharapkan agar Dosen Fisip dapat memanfaatkan momentum ini sebaik mungkin.

Dr. Laurens Bakker memulai paparan dengan pengenalan terhadap Universitas Amsterdam. Beliau juga menyambut baik uluran tangan Dekan Fisip, untuk mewujudkan kerjasama antara dua universitas. Universitas Amsterdam sangat terbuka dengan perguruan tinggi manapun dalam hal kerjasama akademik. Bahkan beberapa waktu lalu, salah satu Universitas di Sumatera juga telah menandatangani Letter of Intent (LoI) dengan Universitas Amsterdam. 

Aktifitas Dr. Laurens Bakker di pelosok Sumatera dan Kalimantan mengawali materi diskusi. Beliau menyampaikan dalam bahasa Indonesia dengan baik dan lancar. Peserta diskusi sangat tertarik dengan kajian Dr. Laurens hingga diskusi semakin hangat. Terlebih kedatangan beberapa LSM pemerhati konflik agraria. Barid Hardiyanto, M.Si, peneliti LPPSLH Kabupaten Banyumas turut meramaikan diskusi ini. Bahwa konflik agraria di jawa sebenarnya memiliki kerumitan tersendiri. Permasalahan agraria di Kabupaten Cilacap misalnya, merupakan kabupaten dengan daerah konflik agraria terbesar di Jawa Tengah sekaligus manifestasi kepedulian terhadap kesejahteraan masyarakat desa hutan. Sharing knowledge berlangsung apik dan hangat, hingga diskusi usai. 

Fisip Unsoed, Maju Terus Pantang Menyerah !


Diambil dari: http://fisip.unsoed.ac.id/content/mengurai-konflik-agraria-bersama-dr-laurens-bakker-universitas-amsterdam-belanda

Bagi-bagi Lahan untuk Rakyat


(Suara Barid Hardiyanto/ Aktivis Reforma Agraria/ Penulis Buku "Jalan Menuju Hutan Subur, Rakyat Makmur, Gramedia Pustaka Utama)

Senin, 28 Desember 2015

Bedah Buku "Hutan Subur, Rakyat Makmur"



Bertempat di Laboratorium Ilmu Politik Fisip Unsoed, Kamis (26/11)  diselenggarakan Bedah Buku yang berjudul “Jalan Menuju Hutan Subur Rakyat Makmur” bersama pengarang Barid Hardiyanto, S.Sos. M.Si, peneliti di LPPSLH Kabupaten Banyumas sekaligus praktisi Pemberdayaan Desa. Acara ini adalah salah satu rangkaian dari perkuliahan Politik dan Pemerintahan Desa yang diampu oleh Ahmad Sabiq, S. IP., MA. Acara dipandu oleh Fajar Assidiq,  koordinator mahasiswa Jurusan Ilmu Politik yang mengambil mata kuliah tersebut.

Buku ini merupakan dedikasi sang penulis yang juga merupakan alumni FISIP Unsoed untuk menyelesaikan permasalahan agraria di Kabupaten Cilacap yang merupakan kabupaten dengan daerah konflik agraria terbesar di Jawa Tengah sekaligus manifestasi kepedulian terhadap kesejahteraan masyarakat desa hutan. Pendekatan yang digunakan adalah participatory action research dengan melaksanakan FGD (focus group discussion) yang melibatkan Pemerintah Daerah dan Pusat, LSM, LBH, Akademisi dan Politisi, Pemerintah Desa dan petani. 

Buku Jalan Menuju Hutan Subur Rakyat Makmur didasari oleh gagalnya manajemen hutan yang dijalankan oleh Perhutani, khususnya Perhutani KPH Banyumas Barat. Dalam hal ini, gagalnya manajemen hutan mengakibatkan tidak produktifnya pengelolaan hasil hutan. Hal tersebut akhirnya berdampak kepada kesejahteraan masyarakat desa di sekitar hutan dan turut menciptakan jurang kemiskinan yang semakin dalam. Oleh karena itu, tujuan utama dibuatnya buku ini adalah reposisi terhadap Perhutani sebagai otoritas tertinggi pengelolaan hutan. Dengan demikian, pengelolaan hutan selanjutnya akan dikelola oleh masyarakat desa hutan yakni mereka yang bertempat tinggal di desa sekitar hutan dan  untuk mendukung kehidupannya melakukan aktivitas yang berinteraksi dengan sumberdaya hutan

Pemilihan reposisi ini dikarenakan secara empiris pengelolaan hutan yang dikelola oleh masyarakat desa hutan justru lebih produktif ketimbang pengelolaan yang dilakukan oleh Perhutani. Oleh karena itu, jika pengelolaan hutan diserahkan kepada masyarakat desa hutan,  produktifitas hasil hutan akan meningkat yang sekaligus bisa menjadi  alat penanggulangan kemiskinan bagi masyarakat desa hutan. Walhasil, Jalan Menuju Hutan Subur Rakyat Makmur adalah hutan yang dikelola oleh masyarakat untuk kesejahteraan masyarakat. Masa depan ekologinya terjaga, namun tetap produktif hasilnya.

Ilmu Politik Fisip, Maju Terus Pantang Menyerah !
 

http://fisip.unsoed.ac.id/content/hutan-subur-rakyat-makmur

Hutan Subur, Rakyat Makmur



Pulau Jawa merupakan salah satu daerah terpadat di dunia dengan lebih dari 136 juta jiwa tinggal di daerah seluas 129.438,28 km2. Dengan luasan hanya sekitar enam persen dari keseluruhan daratan di Indonesia, Jawa dihuni lebih dari 50 persen jumlah penduduk Indonesia.
Kepadatan populasi di Pulau Jawa berimplikasi pada besarnya tekanan terhadap sumber daya alam demi kelangsungan hidup sehari-hari. Tekanan ini terutama terjadi di 4.614 desa yang berada di dalam dan di sekitar hutan negara. Berdasarkan data BPKH Wilayah XI, Jawa-Madura (2012), dari 98 juta hektare kawasan hutan negara di Indonesia, hanya sekitar 3,38 persen yang tercatat berada di pulau ini.
Luas hutan Jawa 2.429.203 hektare atau 85,37 persen diserahkan pengelolaannya hanya pada Perum Perhutani. Luasan itu merupakan 19,8 persen dari luas total wilayah di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Banten.
Sayangnya, dengan penguasaan tersebut terdapat fakta telah terjadi salah urus hutan Jawa oleh Perhutani yang mengakibatkan krisis sosial. Data Badan Pusat Statistik (BPS) (2012) menunjukkan jumlah penduduk miskin perdesaan di Jawa 8.703.350 jiwa.
Sejauh ini diyakini kemiskinan masyarakat perdesaan yang tinggal di dalam dan sekitar hutan Jawa disebabkan oleh keterbatasan lahan. Dalam data Sensus Pertanian (1993), RACA Institute menyebutkan, penguasaan tanah petani di Jawa rata-rata 0,3 hektare/KK.
Kemiskinan juga disebabkan terbatasnya akses masyarakat perdesaan terhadap hutan Jawa. Sesuai amanat konstitusi, kekayaan alam seharusnya untuk kesejahteraan rakyat. Namun, melalui Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2010, pemerintah hanya memberikan hak pengelolaan hutan Jawa kepada Perum Perhutani.
Dengan melihat karakteristik kerja Perhutani, alih-alih mengatasi krisis sosial, eksploitasi sumber daya hutan dan masyarakat perdesaan justru semakin tajam. Dalam catatan HuMa (2013), dari 72 konflik kehutanan, 41 kasus terjadi di hutan Jawa yang melibatkan Perum Perhutani.
Gejala telah terjadinya krisis ekologis ini juga terlihat dari terus berkurangnya luas tutupan hutan Jawa setiap tahun. Pada 2000, luas tutupan hutan di Jawa diperkirakan 2,2 juta hektare. Namun, pada 2009 luas tutupan hutan hanya tinggal 800-an ribu hektare. Perubahan tutupan hutan ini karena kegagalan Perum Perhutani menjalankan reboisasi.
Berkurangnya luas tutupan hutan ini berdampak pada terganggunya daerah aliran sungai (DAS) di Pulau Jawa. Data Kementerian Lingkungan Hidup menyebutkan, 123 titik DAS dan sub-DAS di Jawa terganggu akibat degradasi dan deforestasi hutan. Hal ini kian menegaskan terancamnya Jawa oleh krisis ekologis. Ancaman bencana di Jawa, seperti banjir, longsor, kekeringan menjadi sangat mencolok jika dibandingkan kenyataan kejadian yang sama di daerah Indonesia lainnya.
Pada skala produksi, laporan tahunan Perum Perhutani 2010 menunjukkan, dari kawasan hutan produksi seluas 1.767.304 hektare kini hanya mampu menghasilkan kayu 889.858 m3. Jumlah ini jauh di bawah produksi kayu dari hutan rakyat yang 18.523.433 m3/tahun.
Produksi kayu ini bersumber dari hutan rakyat seluas 2.871.675,31 hektare. Dengan demikian, tingkat produktivitas hutan rakyat 6,54 m3/hektare, jauh lebih besar dibandingkan produktivitas lahan hutan negara kelolaan Perhutani yang hanya mampu memproduksi 0,50 m3/hektare.
Atas kondisi ini, negara kehilangan potensi produktivitas lahan 6,04 m3/hektare. Salah urus hutan Jawa telah mengakibatkan krisis ekologi, sosial, dan ekonomi. Karena itu, diperlukan tindakan nyata pemerintah. Reforma agraria kehutanan di Jawa adalah sebuah jawaban.
Dalam konteks ini, reforma agraria kehutanan di Jawa diartikan sebagai perubahan bentuk atau wujud pengelolaan hutan Jawa ke arah lebih baik. Reforma agraria hutan Jawa ditujukan untuk melestarikan hutan, memperbaiki keseimbangan ekologi Pulau Jawa serta perluasan ruang kelola rakyat terkait pengentasan kemiskinan masyarakat desa hutan.

Reforma agraria kehutanan dilakukan dengan dua opsi utama, yakni, pertama, tipologi fisik. Dalam hal ini bidikannya terdapat pada bentuk fisik lahan dan model tata kelolanya, misalnya, tanah datar menjadi lahan pertanian rakyat; tanah campuran (datar dan berbukit kecil) menjadi lahan kombinasi pertanian dan perkebunan (model hutan rakyat) dan tanah dengan kemiringan lebih dari 45 derajat menjadi hutan yang tata gunanya dibatasi penggunaannya sebagai fungsi lindung.
Kedua, tipologi sosial. Tipologi sosial ini melihat konteks sosial dan model penataan struktur agrarianya. Misalnya, tanah timbul atau tanah negara bebas yang kemudian diklaim pemerintah sebagai hutan negara model penataan struktur agrarianya menjadi hak milik masyarakat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian; hutan negara di mana rakyat punya sejarah pemilikan atas lahan itu, tapi diusir karena dituduh DI/TII, PKI, ataupun sebab lain sehingga penyelesaiannya berupa penyerahan kembali menjadi hak milik masyarakat (pemilik sah sebelumnya) pengelolaan dan pemanfaatan sepenuhnya menjadi kewenangan pemilik.
Hutan negara yang telah dikuasai oleh desa ditetapkan sebagai hutan desa yang dikelola oleh desa; hutan negara yang telah dikuasai masyarakat setempat diberikan hak kelola kepada masyarakat desa secara kolektif (kelompok, koperasi, desa). Implementasinya bisa dalam bentuk hutan desa atau model lain dengan kewenangan penuh masyarakat desa setempat untuk mengelola hutan; hutan negara yang selama ini untuk pertambangan rakyat, maka hutan ditransfer ke desa kemudian oleh desa dikelola melalui BUMDes; tanah negara yang selama ini "dikuasai penuh" Perum Perhutani, pengelolaan dilakukan dengan mereplikasi model hutan rakyat melalui hak pengelolaan oleh desa.
Secara gagasan, pemberian hak pengelolaan hutan negara kepada desa sebagai bentuk restorasi ekologi, sosial, dan ekonomi perdesaan. Secara teknis, hak pengelolaan desa adalah hak yang diberikan oleh pemerintah pusat atau daerah kepada pemerintah desa berupa aset tanah dan hutan. Hak ini diwujudkan dalam bentuk sertifikat atas nama pemerintah desa.
Prinsip utama proses transfer hutan dari Perhutani kepada desa adalah dalam rangka pemanfaatan sumber daya untuk kepentingan seluruh masyarakat desa. Untuk itulah transfer kelola hutan memperjelas posisi desa sebagai subjek hukum dalam bentuk pengalihan aset yang sebelumnya dikelolakan oleh Perhutani menjadi pengelolaan oleh desa. Selanjutnya, pengelolaan hutan sebagai aset desa dikelola pemerintah desa melalui BUMDes berdasarkan musyawarah desa.
Lantas, mau dikemanakan Perhutani yang selama ini diberi mandat pengelolaan hutan oleh negara? Setidaknya terdapat dua model yang bisa diimplementasikan. Pertama, melakukan transformasi dari mengelola hutan menjadi mengelola tata niaga kehutanan.
Kedua, menempatkan pegawai Perhutani pada posisi seperti: mandor sampai mantri menjadi bagian masyarakat yang mendapatkan hak kelola desa; asper sampai kesatuan pangkuan hutan ditempatkan pada dinas kehutanan level kabupaten; unit ditempatkan pada dinas kehutanan level provinsi; pegawai pusat ditempatkan pada Kementerian Kehutanan.
Upaya perubahan tata kelola kehutanan di Jawa ini merupakan ikhtiar seperti halnya bangsa ini mengupayakan otonomi daerah sebagai bagian desentralisasi kekuasaan atau keberadaan UU Desa yang merupakan bukti tindakan revolusioner untuk mendistribusikan salah satu kekuatan fiskal dari pusat langsung kepada unit pemerintahan terdekat. Ikhtiar mewujudkan opsi pengelolaan hutan juga ingin mematahkan tesis hutan kaya, rakyat melarat seperti yang pernah disinggung Nancy Peluso (2006) menjadi hutan subur, rakyat makmur. n

Barid Hardiyanto Bekerja di Lembaga Penelitian Pengembangan Sumberdaya dan Lingkungan Hidup (LPPSLH)

Diambil dari: http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/15/10/22/nwly0613-menuju-hutan-subur-rakyat-makmur

Jumat, 28 Agustus 2015

Pre Order Buku "Jalan Menuju: Hutan Subur, Rakyat Makmur" (Penerbit Gramedia)

 

Info Pre-Order Buku “Jalan Menuju: Hutan Subur, Rakyat Makmur

Saya mengenal Bung Barid sebagai sosok yang berusaha keras memperjuangkan agar hutan di Jawa memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Jika dalam kesehariannya ia bergelut dengan mengorganisir rakyat -salah satunya petani, sekarang ia berusaha berjuang lewat ruang “akademis” untuk melengkapi metode perjuangannya. Oleh karena itu, buku yang berasal dari tesisnya ini hadir dihadapan kita.
Buku ini memperlihatkan bahwa Hutan Jawa selama ini banyak mengandung permasalahan termasuk didalamnya konflik yang diakibatkan dari cara pandang yang tidak memihak pada upaya menyejahterakan rakyat dan alih-alih justru “menjajah” rakyatnya sendiri. Untuk itulah, buku ini hadir memberi cara pandang yang secara jelas ingin mengatakan pada khalayak bahwa pengelolaan hutan perlu perubahan mendasar. Dan perubahan tersebut dilakukan dengan mempercayai rakyat mengelola hutan

(Budiman Sudjatmiko, M.Sc; M. Phil, Anggota DPR RI)


TENTANG PRE ORDER BUKU JALAN MENUJU: HUTAN SUBUR, RAKYAT MAKMUR (HSRM) 
Buku Barid Hardiyanto yang berjudul, Jalan Menuju: Hutan Subur, Rakyat Makmur (HSRM), akan tersedia di toko buku awal September 2015. Namun, para peminat bisa pre-order (pesan duluan) dan mendapatkan buku Jalan Menuju: Hutan Subur, Rakyat Makmur (HSRM) sebelum beredar di toko-toko buku.

Keuntungan yang didapatkan dari pre-order adalah:
  • Mendapatkan Buku Jalan Menuju: Hutan Subur, Rakyat Makmur (HSRM) bertandatangan penulis dengan harga Rp. 80.000,00 Rp. 75.000,00 (untuk daerah Purwokerto bebas ongkos kirim)

TATA CARA PRE-ORDER JALAN MENUJU: HUTAN SUBUR, RAKYAT MAKMUR (HSRM)
  • Anda bisa melakukan pemesan melalui SMS ke: 085293195531, Whatapps: 085293195531, pin BB: 57F36879, email: baridhardiyanto@yahoo.com, FB: Barid Tita Prana Ayra, twitter: @BaridTita
  • Cara pemesanan ketik: (Jumlah Buku)_(Nama Lengkap)_(Alamat Lengkap)
  • Selanjutnya anda mendapatkan informasi berapa biaya yang harus anda transfer
  • Setelahnya lakukan transfer ke nomor rekening BNI: 0311520132 a.n. Barid Hardiyanto dan berikan buktinya melalui WA, BBM, email, message Twitter, inbox FB
  • Buku akan dikirimkan kepada anda
Salam,
Barid Hardiyanto

Selasa, 28 Juli 2015

Dekolonisasi Hutan

 

Dekolonisasi Hutan
Barid Hardiyanto;  Deputi Sekjen Paguyuban Petani Hutan Jawa,
Mahasiswa Pascasarjana Magister Administrasi Publik Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto
KOMPAS, 19 September 2013

Awalnya, masyarakat leluasa masuk hutan dan mengakses sumber daya hutan. Lalu mereka membangun rumah dan bercocok tanam. Namun, kekuatan yang lebih besar, sebutlah kerajaan dan kemudian penjajah Belanda, mengatur serta menuntut upeti dari mereka dan akhirnya mengeksploitasi hutan secara besar-besaran (Peluso, 2006).
Pengelolaan hutan di Jawa berjalan lebih sentralistis di tangan Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, tahun 1808. Ia mendirikan Administrasi Kehutanan (Administratie der Bosschen), sejenis Jawatan Kehutanan, dan sejak itulah negara memonopoli hutan sekaligus menghapus hak milik umum atas hutan.
Tahun 1830, di bawah Gubernur Jenderal Van den Bosch, Belanda menerapkan Cultuurstelsel (sistem tanam paksa). Petani-petani Jawa dipaksa menggunakan sebagian tanah garapan dan sebagian dari tenaga kerjanya untuk membudidayakan tanaman kopi, nila, dan tebu. Masyarakat kehilangan lahan garapan dan, kalaupun ada, tidak sempat lagi mengerjakan tanahnya.
Meski pemerintah kolonial kurang menaruh perhatian terhadap sumber daya hutan, pada masa ini untuk pertama kalinya lahir undang-undang kehutanan untuk Jawa dan Madura yang dinamakan Boschordonantie voor Java en Madoera 1865.
Tahun 1870, Belanda mengeluarkan Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet), yang di dalamnya terdapat bab Domeinverklaring yang menetapkan batas kawasan hutan yang dikuasai negara, dalam hal ini Boschwezen (Jawatan Kehutanan).
Jawatan kehutanan membatasi akses dan pemanfaatan hutan oleh masyarakat. Pengambilan kayu dari hutan harus seizin polisi hutan. Penataan batas dan petak-petak hutan dilakukan dengan memindahkan permukiman penduduk yang semula tersebar di dalam hutan ke satu daerah. Perluasan hutan jati dilakukan dengan mengambil alih tanah-tanah kerajaan dan merampas tanah-tanah penduduk.
Saat Jepang berkuasa, fokusnya adalah mencukupi kebutuhan pangan tentara Jepang. Di bidang kehutanan, Jepang hanya meneruskan hukum dan peraturan perundang-undangan bentukan pemerintah kolonial Belanda, terus mengeksploitasi hasil hutan di bawah wewenang Sangyobu (Departemen Ekonomi) dan Zoosen Kyo Ku (Departemen Perkapalan) serta membuka lahan hutan besar-besaran untuk palawija.
Setelah merdeka
Pasca-kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia tak banyak mengubah penataan hutan. Tahun 1952, dibentuk Jawatan Kehutanan yang menguasai tanah-tanah negara yang ditetapkan sebagai kawasan hutan. Tahun 1960, keluar Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang memberi akses masyarakat kepada sumber daya alam dan mengamanatkan land reform.
Namun, UU ini diingkari dengan keluarnya undang-undang sektoral di bidang kehutanan pada masa Orde Baru, yakni UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan yang isinya bertentangan dengan semangat UUPA. UU ini menegaskan peran Perhutani sebagai pengelola hutan negara di Jawa.
Pada masa Reformasi 1998, terjadi pengambilan sumber daya hutan besar-besaran. Namun, kejadian ini tidak membuat pemerintah sadar telah menyakiti masyarakat. Tahun 1999, pemerintah mengeluarkan UU No 41/1999 tentang Kehutanan yang menggantikan UU Kehutanan No 5/1967.
UU No 41/1999 dan membatasi masyarakat pinggir hutan dalam mengakses hutan. Pada masa ini, konflik tenurial antara petani penggarap dengan Perhutani meningkat karena Perhutani tidak mengakui kepemilikan dan penguasaan tanah masyarakat.
Lembaga Bantuan Hukum Semarang pada 2005 mencatat sembilan kasus tanah berbasis hutan, dengan total luas lahan yang disengketakan 1.039,59 hektar. Tahun 2006, kasus tanah hutan meningkat menjadi 16 kasus dengan total luas lahan yang disengketakan lebih dari 1.722, 59 hektar.
Adapun tahun 2007, sengketa tanah bertambah 14 kasus dengan tambahan luas lahan seluas 601,58 hektar di sembilan wilayah kabupaten/kota di Jawa Tengah.
Pada 2008, ada 41 kasus yang terjadi di 18 kabupaten/kota dengan jumlah korban 7.414 kepala keluarga. Kasus demi kasus terus berlangsung sampai sekarang. Terakhir, dua pemimpin organisasi tani di Banjarnegara dan Ngawi ditangkap polisi dan dibui.
Upaya dekolonisasi
Memasuki wilayah hutan Rajabasa (nama disamarkan) tampak ”kemegahan” sekretariat Serikat Petani Organisasi Tani Lokal (OTL) Rajabasa. Sekretariat ini menjadi simbol bahwa lahan yang dulu dikuasai Perhutani telah kembali ke masyarakat Desa Rajabasa.
Menurut warga, dulu wilayah tersebut adalah permukiman penduduk. Tahun 1918, masyarakat diusir Belanda dan ”ditampung” di daerah yang lebih rendah. Pengusiran didahului dengan ditariknya surat ”cap Singa” yang dianggap sebagai ”bukti pemilikan” lahan. Bukti bahwa masyarakat pernah tinggal di sana, salah satunya, adalah kuburan di tengah hutan.
Tahun 2000, warga memasuki wilayah hutan, dimulai dengan ajakan kepada masyarakat yang tidak mempunyai tanah untuk mendaftar sebagai anggota serikat tani. Ada 1.200 pendaftar dan mereka mendapat lahan lewat pengundian, rata-rata 1-3 hektar.
Mereka mengelola lahan dengan sistem ”kebon”, yakni menanam beberapa macam tanaman, seperti kopi, kelapa, albasia, dan karet. Hasilnya relatif bagus. Model hak kelola rakyat ini membuat masyarakat sejahtera sekaligus mengamankan dan melestarikan hutan.
Setelah 10 tahun, rata-rata warga sudah memiliki rumah senilai Rp 100 juta, bisa menyekolahkan anak sampai ke perguruan tinggi, mempunyai motor bahkan mobil, dan bisa naik haji. Kondisi yang baik pada pengelolaan hutan model rakyat ini membuktikan bahwa hutan rakyat telah membuat masyarakat sejahtera sekaligus melestarikan hutan.